Oleh:
Prof. Urip Santoso
Ada beberapa kendala berat yang
harus dihadapi dunia peternakan dalam era otonomi daerah. Antisipasinya?
DUNIA
peternakan di Indonesia dihadapkan kepada kendala-kendala yang berat yang
harus segera diatasi dalam menghadapi tantangan era pasar bebas. Pertama, belum
dapat dicapainya standar gizi nasional sebesar 6 gram protein hewani asal
ternak per hari per orang. Kedua, produktivitas ternak masih rendah serta angka
kematian ternak yang relatif masih cukup tinggi. Ketiga, belum dapat
dimanfaatkannya peluang ekspor ternak dan hasil ternak dalam upaya peningkatan
penerinnaan devisa dan penciptaan lapangan kerja baru. Keempat, kerugian yang
diderita akibat penurunan mutu dan kerusakan hasil‑hasil peternakan karena
penanganan yang kurang tepat. Kelima. belum dimanfaatkannya sumberdaya alam
secara optimal karena kurangnya minat instansi dan masalah-masalah lainnya
yang terkait, di antaranya kurangnya tenaga teknis terampil. ketersediaan teknologi
tepat guna dan lain-lain. Keenam, lemahnya kelembagaan dan posisi peternak.
Ketujuh. adanya tuntutan agar pengelolaan peternakan dapat memperhatikan
masalah lingkungan yang dihasilkannya. Permasalahan‑permasalahan
tersebut harus segera diatasi guna menghadapi era otonomi daerah dan era pasar
bebas.
Standar
gizi
Dalam
kaitannya dengan masalah program gizi di Indonesia, maka ditemukan empat
masalah utama, yaitu kurangnya kalori‑protein (KKP), kekurangan vitamin A,
anemia karena kekurangan zat besi, dan gondok endemik karena kekurangan yodium.
Tahun 1996 tingkat konsumsi telur rakyat Indonesia mencapai 3,1
kg/kapita/tahun, sedangkan tingkat konsumsi daging baru mencapai 5,316
kg/kapita/tahun. Ini tentunya masih belum mencapai standar gizi yang dicanangkan
yaitu untuk telur sebanyak 3,4 kg, daging 10 kg dan susu 6/ kg/kapita/tahun
atau setara dengan 6 gram protein asal ternak/kapita/hari.
Tabel
1 memperlihatkan kecenderungan konsumsi telur dan daging unggas penduduk
Indonesia. Terjadi peningkatan konsumsi produk unggas yang cukup berarti.
Sedangkan konsumsi daging sapi pada tahun 1998 diperkirakan sebesar 0,416
kg/kapita/tahun.
Tabel
1. Konsumsi telur dan daging unggas (kg/kapita/tahun) di Indonesia
|
1985
|
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
Telur
|
1,8
|
2,2
|
2,3
|
2,3
|
2,4
|
2,2
|
2,3
|
3,1
|
Daging
|
2,0
|
2,7
|
2,9
|
3,4
|
3,7
|
4,2
|
4,4
|
4,9
|
Sumber:
Poultry Intemational (1999)
Hasil
analisis Susunan (BPS) pada tahun 1987 mengungkapkan bahwa untuk mencapai
konsumsi asal ternak sebanyak 5 g/kapita/hari adalah golongan dengan
pengeluaran sebesar Rp, 30.000 ‑ Rp. 40.000/bulan/kapita. Apabila in! Dipetakan
terhadap masyarakat waktu itu temyata bahwa jumlah penduduk yang mampu
mengkonsumsi protein hewani asal ternak di atas 4,5 g baru mencapai 5,49% di
pedesaan dan di perkotaan atau secara nasionai baru mencapai 17,96%. Menurut
Santoso (1996) bahwa untuk mengkonsumsi pangan sesuai dengan kebutuhan
gizinya, maka masyarakat Bengkulu pada tahun 1995 harus mengeluarkan uang
sebesar Rp. 68,978,‑/kapita/bulan. Jlka sebuah keluarga mempunyai 4
anggota saja maka untuk kebutuhan pangannya diperlukan uang sebesar Rp.
275.941,‑. Hasil perhitungan ini dapat dipaslikan tidak sesuai lagi untuk tahun
2000. Jika kita perhitungkan bahwa kenaikan biaya tersebut tiga kali lipat,
make untuk memenuhi kebutuhan gizinya diperlukan uang sejumlah Rp.
206.955,75/kapita/bulan untuk tahun 2000. Hasil perhitungan tahun 2000
ini tentu saja sudah tidak sesuai lagi untuk tahun 2009. Oleh sebab itu,
sangatlah wajar jika di masa krisis ekonomi ini banyak penyakit yang timbul
disebabkan oleh kekurangan gizi. Dalam jangka panjang hal ini dapat memberikan
dampak negatif terhadap kualitas generasi penerus.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan konsumsi protein asal ternak dalam tahun
tahun terakhir ini adalah sangat sulit, mengingat tingkat pendapatan per kapita
per tahun penduduk Indonesia menurun drastis. Pada kondisi seperti ini, opini
masyarakat bahwa produk ternak adalah barang mewah barangkali semakin tajam.
Untuk itu, haruslah dicari langkah‑langkah konkrit untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat terutama masyarakat bawah, bukan para pejabat. Langkah
pertama adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha kepada
pemerintah Indonesia dengan mengupayakan stabilitas politik dan konsistensi
perundang‑undangan dan pelaksanaannya di lapangan tanpa pilih kasih. Apabila
hal ini sudah dapat diatasi, barangkali perbaikan sektor ekonomi adalah ‘,ngkah
berikutnya yaitu dengan menciptakan lapangan kerja baru, perundang‑undangan
yang jelas dan tegasdalam pelaksanaannya serta. efisiensi kerja yang tinggi.
Dengan cara ini diharapkan tingkat pendapatan dan pemerataannya dapat
meningkat. Selain tingkat pendapatan yang harus ditingkatkan, juga peningkatan
efisiensi usaha di sektor peternakan adalah faktor yang perlu dipertimbangkan.
Hal ini tentunya menyangkut semua pihak yang
terkait baik
pemerintah, swasta dan masyarakat peternak. Dengan fingginya efisiensi usaha,
maka diharapkan tingkat
keuntungan
peternak dapat memadai tetapi dengan harga produk ternak yang dapat dijangkau
oleh sebagian besar masyarakat. Pacia kenyataannya, pada tahun 1998‑2000 ini
meskipun harga produk ternak cukup mahal, namun peternak tidak dapat memetik
keuntungan yang memadai dan bahkan merugi sehingga banyak peternakan yang
gulung tikar. Hal ini disebabkan disamping harga sarana produksi yang tinggi,
juga dikarenakan daya beli masyarakat menurun.
Usaha lain untuk dapat meningkatkan pemerataan gizi adalah
dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Upaya tersebut harus
dibarengi dengan contoh yang nyata. Seorang yang memiliki pengetahuan, kadang
kala enggan melakukan hal yang diketahui itu meskipun ia tahu bahwa hal itu
baik. Contoh nyata, misalnya, seorang sariana peternakan yang telah mempelajari
fungsi produk ternak bagi kesehatan tubuhnya, temyata ia belum mau minum susu
atau makan telur meskipun penghasilannya memadai untuk mengkonsumsi produk
tersebut. Seorang dokter, misdlnya, ia mengetahui bahwa rokok itu mengandung
nikotin yang berbahaya bagi paru‑parunya, pun ada pula yang kecanduan rokok.
Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pangan
dan gizi harus pula diimbangi oleh langkah lain, yaitu usaha peningkatan
kesadaran gIzi. Kampanye gizi memang perlu, namun harus dibarengi dengan contoh
dari para pakar yang bergerak di bidang gizi dan peternakan, disusul oleh
masyarakat yang usahanya di bidang gizi dan peternakan. Kampanye gizi dapat
meluruskan kembali informasi‑informasi yang kusut tentang produk ternak
khususnya telur dan daging. Informasi inilah yang menyebabkan orang yang finggi
pendapatannya pun menjadi takut mengkonsumsi produk tersebut. H~l ini tentu
saja mengurangi daya serap pasar.
Ringkasnya, bahwa untuk mengatasil kekurangan konsumsi gizi itu dapat dilakukan
usaha‑usaha antara lain : 1. Peningkatan dan pemerataan pendapatan; 2.
Melakukan kampanye gizi, sehingga masyarakat sadar gizi; 3. Melakukan efisiensi
usaha dan perbaikan kebijakan untuk membuat patokan harga produk ternak yang
menguntungkan semua pihak tanpa membebani konsumen.
Peluang
ekspor
Peluang ekspor ternak dan hasil ternak sebenarnya besar.
Namun untuk mampu menembus pasar intemasional diperlukan beberapa
perubahan. Faktor pertama adalah mutu dari produk yang dihasilkan. Mutu harus
memenuhi syarat yang diajukan oleh negara pengimpor. Pada saat ini selera
antara konsumen dalam negeri dan luar negeri berbeda, sehingga jika akan
diekspor diperlukan adanya beberapa perubahan dalam manajemen peternakan di
Indonesia. MisaInya saja, produk daging ayam yang bobot hidupnya berkisar
antara 1‑2 kg/ekor di dalam negeri, harus diseragamkan menjadi 2 kg bobot hidup
sesuai dengan keinginan Negara pengimpor. Demikian pula mengenai bentuk harus
yang disukai konsumen luar negeri. Misalkan adalah sulit bila kita mengekspor
ayam beku dalam bentuk utuh ke Jepang. Disamping Indonesia belum mampu bersaing
dalam hal harga dengan Amerika, juga karena Jepang lebih suka mengimpor ayam
dalam bentuk potong-potongan atau yang sudah siap dimasak.
Masalah higienis produk ternak juga sudah saatnya diperhatikan, jika diinginkan
Indonesia memasuki era ekspor. Selama ini hal tersebut kurang diperhatikan oleh
peternak Indonesia. Oleh karena itu, harus juga dilakukan perubahan besar dalam
tatalaksana pemeliharaan ternak agar memenuhi standar kesehatan yang
diinginkari. Dalam kondisi ini, petemalk lebih baik membentuk suatu asosiasi
agar diperoleh tingkat efisiensi yang optimal, atau dapat pula melakukan
kemitraan dengan pengusaha besar. Apabila diperlukan, kebijakan peternakan di
Indonesia perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan perkembangan peternakan
baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Disamping itu, perlu diperhatikan
pula tingkat harga di negara tersebut, dan kemudian dibandingkan dengan biaya
produksi, transportasi, biaya keluar dan masuk dan lain lain. Demikian
pula perlu dilihat tingkat harga negara negara lain yang mengekspor hasil
ternak ke negara tersebut. Dengan demikian bisa diperhitungkan tingkat
harga yang menguntungkan. Jangan sampai mengekspor ternak malah rugi.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kesinambungan ekspor dan konsistensi
terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama. Hal ini penting untuk menjaga
tingkat kepercayaan negara tersebut kepada negara pengekspor. Memang selama ini
Indonesia telah membuat gebrakan‑gebrakan untuk mengekspor ternak dan hasil
ternak. Akan tetapi kesinambungannya, belum bisa dibanggakan. Tampaknya. ekspor
tersebut hanya merupakan strategi saja agar harga di dalam negeri fidak jatuh.
Sebagai contoh, bulan Oktober 1987 mengekspor te!ur segar ke Singapura can
Hongkong. Bulan Nopember 1987 mengekspor DOC Parent Stock ke Malaysia, bulan
Desember 1988 telah dilakukan ekspor anak ayam ke Singapura, d1l. Namun
kelanjutannya tersendat. Padahal salah satu cara untuk mengatasi
permasaiahan peternakan di Indonesia adalah mengekspor temalk dan hasil‑hasil
ternak. Dalam jangka pariang ekspor merupakan salah satu altematif untuk
menstabilkan harga produk ternak di Indonesia.
Untuk menghadapi peluang seperti itu, serta untuk mempercepat
perkembangan industri peternakan, diperlukan sekali untuk memantapkan tahap
konsolidasi peternakan agar bisa memasuki tahap ketangguhan dengan semua aspek
peternakan yang lebih mantap. Penataan ke dalann‑dalam arti aspek teknis,
organisasi, peraturan, sistenn pengawasan, pembinaan dan penciptaan kondisi
usaha yang merangsang pemindahan modal dari luar ke dalam lebih lancar ‑ sudah
merupakan keharusan agar bisa diraih peluang tersebut. Apabila kita kurang
berhasil dalam penataan ini seperti yang terjadi saat ini, maka peluang ekspor
akan jatuh ke negara lain. Langkah awal dalam konsolidasi adalah mengumpulkan
data yang akurat. Hal ini memerlukan kejujuran pihak‑pihak yang terkait. Data
harus dikumpulkan antara lain jumlah pabrik pakan ternak dan pembibitan, dan
total produksi yang dijual ke pasar, kebutuhart anak ayam dan pakan di tingkat
produsen hasil ternak. Hal ini berkaitan erat dengan keseimbangan antara.
jumlah suplai dengan tingkat kebutuhan. Data lain yang juga penting adalah
tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk ternak. Hal ini berkaitan erat
dengan penentuan jumlah produksi yang harus dihasilkan peternak. Selama
ini, karena data yang akurat belum ada, maka sering terjadi kelebihan
suplai bibit, misalnya, yang membuat harga bibit iatuh. Namun sebaiiknya sering
pula terjadi kelangkaan bibit sehingga harga bibit naik drastis. Namun di sisi
lain, harga ransum pabrik melonjak terus. Akhimya, harga produk ternak pun
menjadi berfluktuasi sehingga peternak mengalami kesulitan untuk mengembangkan
usahanya. Hal lain yang perlu ditata adalah aspek pemasaran. Baik pemasaran telur,
daging dan susu yang sasarannya bisa dikaitkan dengan upaya peningkatan gizi
masyarakat maupun kegiatan ekspor non migas, sejauh ini belum ditangani secara
optimal. Kondisi pemasaran yang ada sekarang ini masih diperlukan pendekatan
baru yang lebih dinamis, yaitu pendekatan yang arahnya membina pasar yang sudah
terbentuk serta merintis pasar baru yang masih terbuka peluangnya baik di dalam
maupun di luar negeri. Di era otonomi daerah ini, maka diperlukan pemetaan dan
penataan jalur pemasaran.
Sikap konsistensi terhadap kesepakatan yang telah diambil
juga sangat penting. Kita tidak boleh membatalkan kesanggupan mengirim
komoditas yang telah disepakati disebabkan ada negara lain yang memberikan
harga yang lebih tinggi atau karena harga di dalam negeri sedang membaik. Sikap
tak konsisten ini pemah terjadi pada ekspor babi beberapa tahun yang lalu, yang
berakibat terhambatnya kegiatan ekspor komoditas tersebut pada kesempatan lain.
Memanfaatkan peluang ekspor secara berkesinambungan ini tampaknya menjadi semakin
sulit mengingat krisis yang terjadi saat ini justru berakibat secara langsung
dengan gulung tikamya perusahaan peternakan di Indonesia. Hal ini menyebabkan
Indonesia harus menambah impomya dan semakin rumit karena daya beli masyarakat
menurun drastis, sehingga daiam jangka panjang dapat menurunkan mutu generasi
penerus.
Sumberdaya
pakan
Ongkos produksi yang berasal dari
pakan merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 50‑80% dari total biaya produksi
tergantung kepada jenis ternak yang dipeliharanya dan efisiensi manajemennya.
Oleh karena itu banvak usaha dilakukan untuk mendapatkan pakan yang
murah tanpa mengurangi nilai gizi, tidak bersaing dengan manusia dan cukup
tersedia. Sumber alam berupa bahan baku pakan baik jenis maupun jumlahnya cukup
besar, namun usaha ke arah pemanfaatannya masih mengalami banyak hambatan.
Sampai sekarang ini pabrik pakan memakai bahan baku utama jagung, bungkil
kedelai dan tepung ikan. Sebetulnya sudah ada usaha penggantian bahan pakan
utama tersebut oleh pabrik palkan, namun temyata harga pakan tidak juga turun.
Ini berarti ada faktor dominan lain yang perlu diindentifikasi.
Namun
demikian, bukan berarti peningkatan bahan baku utama atau penggantian bahan
baku utama tersebut kemudian ditinggalkan. Peternak kecil, dapat menyusun
pakannya dengan menggunakan bahan pakan yang banyalk tersedia di daerahnya.
Memang saat ini banyalk peternak yang telah memodifilkasi pakannya dengan
mencampur konsentrat pabrik dengan jagung dan dedak. Sebenamya telah banyak
penelitian di bidang nutrisi dan makanan ternak yang dapat ciaplikasikan bailk
pada pabrik pakan ternak maupun di tingkat masyarakat peternak. Banyak hasil
penelitian yang tertumpuk saja di perpustakaan.
Selain
peninglkatan efisiensi manajemen, maka perlu dilakukan upaya penjajagan
kemungkinan pengalihan jagung, bungkil kedelai dan tepung ikan. Bahan‑bahan
tersebut dapat berupa limbah industri atau limbah pertanian atau bahanbahan
yang tidak bersaing dengan manusia. Hal ini memang memerlukan proses
yang cukup lama dan berkaitan erat dengan beberapa pihak yang tidak mau
dirugikan. Beberapa pendekatan perfu dilakukan. Juga dituntut kejujuran pihak
pabrik pakan ternak. Jika mereka telah menggunalkan bahan yang lebih murah,
maka diharapkan mereka mau menurunkan harga pakannya.
Ada dua aspek dalam hal penekanan biaya pakan, yaitu aspek telknologi dan
tataniaga. Dalam aspek teknologi, hasil penelitian menunjukkan bahwa standar
kebutuhan gizi yang sekarang dianut masih dapat diturunkan. Aspek tataniaga
pakan ternak juga memegang peranan penting. Masalah tataniaga bahan baku pakan
ternak misalnya, penyempurnaan akan mempunyai arti yang besar. Usaha ke arah
itu sudah dilakukan oleh pemerintah misainya dengan diserahkannya kembali
pembelian jagung dan tepung ikan oleh BULOG kepada pihak swasta, artinya swasta
bisa membelinya langsung dari pasar luar negeri. Namun sejauh mana hal ini
dapat menekan biaya pakan masih belum diketahui.
Penurunan
mutu produk
Seringnya
terjadi permasalahan yang dihadapi oleh peternak, perusahaan pakan, maupun
pembibitan, ditinjau secara global dari aspek pengembangan industri, maka
kemungkinan yang menjadi permasalahannya yaitu akibat kondisi struktur industri
yang belum berkembang secara seimbang. Artinya yang baru berkembang adalah
sektor industri proses produksi dan sarana produksi, sedangkan sektor industri
pasca produksi belum mengalami perkembangan yang berarti.
Berkembangnya
industri pasca produksi merupakan salah satu pengendali dan stabilitas harga
hasil ternak, dan dapat sebagai sektor pengaman hasil ternak sehubungan bahwa
hasil ternak termasuk produk yang mudah dan cepat rusak. Disamping itu juga
diketahui bahwa sektor tersebut dapat sebagai sektor peringkat nilai tambah
produk ternak.
Pengelolaan pasca panen sangat penting untuk menjaga mutu produk ternak.
Penanganan yang kurang tepat akan menghasilkan kerugian besar.
Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu terjadi pembuangan susu
karena tidak diterimanya susu oleh pabrik karena tidak memenuhi syarat.
Untuk menjaga kestabilan harga, maka susu dibuang. Jika industri
pengolahan susu pada tingkat rumah tangga telah berkembang, mungkin hal
im tidak perlu terjadi. Demikian pula perlu perbaikan penanganan
susu di tingkat peternak dan koperasi untuk mempertahankan mutu
sekaligus perbaikan mutunya. Kerusakan susu pada KPBS Pengalengan
pada tahun 1988 sekitar 3% dari jumlah susu yang diterima.
Produk
ternak lain yaitu telur, penanganan pasca produksinya juga masih kurang
diperhatikan. Menurunnya mutu telur dipengaruhi oleh waktu dan kondisi penyimpanan.
Manajemen pasca produksi daging juga masih belum memadai, disamping mutunya
belum disesuaikan dengan standar intemasional. Banyak ternak yang dipotong
karena sudah afkir balk sebagai ternak kerja, ternak perah atau temalk khusus
diambil dagingnya. Demikian pula pada ayam potong belum adanya keseragaman
berat ayam yang dipasarkan, disamping belum ketatnya permintaan mutu karena
konsumen pada unnumnya belum memperhatilkan mutu secara serius melainkan hanya
didasarkan harganya yang murah. Kini sudah saatnya ‑ jilka tidak mau dianggap
terlambat ‑ dunia peternakan mengembangkan industri pasca produksi untuk
menstabilkan harga, disamping adanya usaha peningkatan mutu dan merebut pasar
dan efisiensi usaha.
Produktivitas
ternak
Sebagian besar peternakan merupakan peternak kecil. Petemalkan ralkyat tersebut
pada umumnya mempunyai ciri‑ciri berupa rendahnya tingkat keirampilan, keciInya
modal usaha, belum digunakannya bibit unggul ‑ terutama pada peternakan ayam
buras, sapi, kambing, domba dan kerbau–, keciinya ternak Yang produktif, dan
belum sempumanya cara penggunaan pakan sehingga produksinya rendah. Hasil
produksi yang berasal dari peternakan masih di bawah hasil produksi dari
perusahaan.
Bagi petemalk rakyat ada tiga masalah utama, yaitu rendahnya produksi,
produktivitas dan mutu hasil temalk. Dari segi bibit, masih banyak temalk lokal
yang tidak unggul, sering kemajiran, mutu pejantan dan betina yang rendah d1l.
Kemajiran ini disebabkan oleh corpus luteum persisten, hipofungsi ovarium,
endometritis. Ketidaksuburan sapi‑sapi betina di Indonesia belum banyak
diteliti, tetapi kemungkinan besar disebabkan oleh kekurangan pakan yang
menyolok, kelainan fisiologik‑anatomik dan kelainan patologi saluran kelamin
betina dan merajalelanya penyakit kelamin menular khusus.
Untulk meningkatkan mutu genetik ternak, maka pemerintah melakukan impor ternak
dan semen, bahkan embrio transfer, disamping memperbaiki ternak lokal yang
berpoten si seperti sapi Bali. Namun,
beberapa
kasus impor ternak, misalnya sapi perah, kita tidak bisa memilih sapi yang
benarbenar sapi terbaik di negara tersebut. Kita hanya bisa mengambil sapi
pada suatu ranch yang telah disediakan tanpa dapat memilih. Ini berarti yang
diimpor bukan sapi unggul di negara tersebut, melainkan campuran dari berbagai
kualitas. Ternak dan semen impor dikawinkan dengan sapi lokal dengan harapan
mampu memperbaiki mutu genetik sapi lokal. Pemerintah melalui program Gerbang
Serba Bisa telah melakukan program pembibitan di tingkat pedesaan. Namun,
sejauh ini keberhasilan tentang proyek tersebut masih dipertanyakan. Hasil
pengamatan pendahuluan di Bengkulu misalnya, proyek tersebut tidak tampak mampu
meningkatkan kualitas dan kuantitas sapi lokal.
Selain
perbaikan faktor genetik, maka hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah
faktor pakan dan manajemen serta tatalaksana pemeliharaan. Meskipun secara
genetik ternak tersebut mempunyai potensi produksi yang tinggi, namun jilka
faktorfaktor lain yang mempengaruhl produktivitas kurang diperhatilkan, maka
potensi yang tinggi itu tidak akan tercermin dilapangan.
Kemitraan
vs koperasl mandid
Permasalahan lain yang juga penting perlu mendapat perhatian adalah lemahnya
kelembagaan petemalk. Meskipun telah dibentuk kelompok‑kelompok usaha, koperasi
d1l., namun pada kenyataannya fungsi kelembagaan peternak masih lemah. Salah
satu sebabnya adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang ada.
Koperasi memang merupakan wadah yang tepat bagi peternak. Tetapi koperasi yang
bagaimana yang harus dibentuk ? Pada hemat penulis, maka koperasi harus mampu
menjadi badan usaha yang mandiri secara nasional. Koperasi mandiri ditandai dengan
antara lain kemampuannya mengelola usaha secara profesional dan mempunyai
“bargaining power”.
Cara
lain untuk peternak kecil mampu eksis ‑ jika mereka belum mampu mendirikan
koperasi mandiri ‑, mereka dapat melakukan “kemitraan” dengan pengusaha besar.
Kemitraan dengan segala kelebihan dan kekurangannya mampu mengembarigkan
peternakan di Indonesia serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
peternak itu sendiri.
Isu lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tuntutan masyarakat yang
menginginkan kegiatan peternakan dapat menekan sekecil mungkin polusi yang
ditimbulkannya. Dengan kata lain, usaha peternakan dituntut untuk menciptakan
usaha yang “ramah lingkungan”
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, problema peternakan harus segera mendapat penanganan serius.
Pemecahan yang dapat dilakukan antara lain: 1. Dari segi aspek pengembangan,
maka perlu dikembangkan industri pasca produksi, disamping memperbaiki industri
sarana produksi dan industri proses produksi. 2. Dilakukan efisiensi usaha di
semua sektor peternakan, sehingga memberikan keuntungan yang memadai di pihak
proses produksi dengan harga hasil ternak yang dapat dijangkau oleh sebagian
besar konsumen. 3. Dari segi pemasaran, perlu direalisasikan ekspor
ternak dan produk ternak, disamping menggali potensi konsumen dalam negeri
dengan menciptakan produk ternak dengan standar intemasional. 4. Dilakukannya pembenahan
secara total di seluruh kegiatan peternakan. 5. Adanya kerjasama yang
saling menguntungkan di semua pihak yang bergerak di bidang peternakan. 6.
Menciptakan usaha peternakan terpadu, agar usaha tersebut dapat menimbulkan
tingkat polusi yang minimal. 7. Memperbaiki kelembagaan peternak.
(Pemah
dimuat di Poultry Indonesia edisi Nopember 2000).
Lucky Club - Online Casino UK
BalasHapusLucky Club Online Casino offers a great selection of slots and table games. We are a unique 카지노사이트luckclub and unique online casino site that's unique Rating: 4.7 · Review by LuckyClub